Memory

Memory
Rev. Sihotang

Rabu, 22 Mei 2013

Gereja dan Masyarakat


Gereja di Tengah Arus Globalisasi
Disusun oleh: Pdt. R. E. Sihotang,S.Si

Globalisasi bukan hanya masih berada di luar jendela rumah kita namun globalisasi sudah masuk dalam rumah kita mewarnai hampir setiap dimensi dari gaya kehidupan kita. Suka tidak suka, mau tidak mau proses globalisasi akan terus berpengaruh dalam kehidupan kita.
Tidak ada orang yang imune (kebal) --termasuk gereja di Aceh Tenggara-- dari dampak globalisasi, kecuali dia hidup ditengah-tengah belantara hutan tidak bersinggungan dengan dunia luar. Untuk menggambarkan keadaan dunia saat ini Anthony Giddens ahli sosiologi berkebangsaan Inggris menggunakan sebuah metafor Juggernaut (truk atau panser raksasa). Menurutnya laju perkembangan era modern saat ini digambarkan seperti berikut:
Kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur-lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun ia juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya (Ritzer dan Goodman 2003:553).
Untuk itu sangat beralasan jika kehidupan modern ini  digambarkan sebagai sebuah: “dunia yang tak terkendali” atau runaway world dan tidak ada orang yang kebal terhadap dunia seperti ini. Setiap orang akan dipaksa masuk dalam dunia yang tak terkendali ini. Globalisasi merupakan proses yang tak terelakkan (inevitable), niscaya, atau bahkan tak dapat dibalikkan (irreversible).
Karena tidak ada orang yang imune terhadap globalisasi maka sosok globalisasi tersebut perlu untuk dipelajari, dikaji sehingga kita bisa melihat sisi positif maupun sisi negatif yang dihasilkan oleh proses yang diberi nama dengan globalisasi tersebut. Tulisan singkat ini membahas tiga hal penting yang berkaitan dengan globalisasi: pertama, mendefinisikan istilah globalisasi; kedua, melihat trend-trend atau kecenderungan-kecenderungan yang muncul dalam arus globalisasi; dan ketiga, bagaimana orang Kristen menyiasati hidup ditengah-tengah arus globalisasi.
·         Apa itu Globalisasi?
Istilah dan wacana tentang globalisasi sering kita dengar dan sering juga membingungkan. ‘Globalisasi’ telah menjadi sebuah istilah populer di tengah-tengah kehidupan kita. Namun tidak sedikit orang yang salah memahami makna istilah globalisasi. Realitas semacam ini tentunya bisa diterima mengingat tidak ada definisi monolitik terhadap istilah globalisasi.
Globalisasi adalah sebuah keadaan ketika “ruang” dan “waktu” tidak penting lagi, atau menjadi relatif (Wibowo 2000:29). Sekat-sekat, batas-batas jarak ruang dan waktu dalam era globalisasi hampir tidak ada artinya lagi. Kejadian di suatu tempat langsung bisa dilihat ditempat lain, kejadian disatu belahan dunia bisa mengundang reaksi secara cepat di belahan dunia lainnya. Jarak antar negara menjadi dekat, jarak antar bangsa menjadi semakin tidak ada. Peristiwa yang terjadi di negara lain seakan-akan terjadi di kampung sebelah.
Karena jarak antar negara dan bangsa semakin tidak ada maka tingkat ketergantungan antar negara juga semakin menjadi kuat, demikian juga dengan pengaruh antar satu negara dengan negara lain juga menjadi lebih tampak.
Sebagaimana diungkapkan oleh Wibowo bahwa: “fenomena globalisasi adalah proses berhubungan (interconnectedness) seluruh pelosok bola dunia pada tingkat extensity, intensity, velocity, dan impact yang luar biasa yang belum pernah ada sebelumnya”. Krisis di Timur Tengah dampaknya bisa dirasakan sampai di Indonesia. Perubahan ekonomi di Jepang akan berimbas pada perekonomian di Indonesia. Maka pantas jika pada masa sekarang dunia sering diumpamakan dengan sebutan kampung global (global village). Tak ada kejadian di planet kita yang hanya berpengaruh terbatas pada situasi lokal, semua temuan, kemenangan, dan bencana mempengaruhi seluruh dunia.
Dengan hampir menghilangnya batas ruang dan waktu ini bukan disebabkan ukuran dunia menjadi kecil, tetapi terutama karena kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi maka membuat dunia yang berjarak itu menjadi tidak berarti. Kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah mengintegrasikan seluruh wilayah dalam jejaring tunggal. Waktu dan ruang seakan-akan semakin dipadatkan atau diciutkan. Jarak tempuh lintas antar negara bahkan antar benua semakin lama semakin pendek seperti jarak satu kampung dengan kampung lainnya. Dalam satu hari seseorang bisa memasuki berbagai wilayah budaya, bahasa, bahkan wilayah negara. Bukanlah hal yang mengeherankan jika ada orang yang sarapan pagi di Medan, makan siang di Surabaya, dan makan malam di Jayapura pada hari yang sama.
Situasi seperti inilah yang menyebabkan orang selalu mengasosiasikan globalisasi dengan pengepresan dunia atau pengecilan dunia. Di dalam pengecilan dunia tersebut peran Barat pada umumnya dan Amerika pada khususnya sangat dominan sehingga sering juga globalisasi dikaitkan dengan Amerikanisasi.
Pengaruh Amerika ini paling gampang dilihat adalah menjamurnya jenis makanan cepat saji (fast food) yang dikonsumsi orang-orang Amerika di berbagai penjuru bagian dunia termasuk Indonesia misalnya McDonald’s. Keadaan ini memunculkan sebuah mitos bahwa melalui proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau
etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Setidaknya ada lima kategori pengertian globalisasi. Kelima kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas. Adapun kelima kategori tersebut sebagai berikut:
1. Globalisasi Sebagai Internasionalisasi
Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar ‘sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara.’ Ia menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana ‘ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional.

2. Globalisasi Sebagai Liberalisasi
Dalam pengertian ini, ‘globalisasi’ merujuk pada ‘sebuah proses penghapusan hambatanhambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang ‘terbuka’ dan ‘tanpa-batas.’ Mereka yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan kontrol modal biasanya berlindung di balik mantel ‘globalisasi.’

3. Globalisasi Sebagai Universalisasi
Dalam konsep ini, kata ‘global’ digunakan dengan pemahaman bahwa proses ‘mendunia’ dan ‘globalisasi’ merupakan proses penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll.
4. Globalisasi Sebagai Westernisasi atau Americanised
‘Globalisasi’ dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat.

5. Globalisasi Sebagai Penghapusan Batas Teritorial
‘Globalisasi’ mendorong ‘rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi
semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas teritorial.’ A. Giddens (1990) mendefinisikan globalisasi sebagai ‘intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang jauh dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula, dan sebaliknya.’ Dalam konteks ini,
globalisasi juga dipahami sebagai sebuah ‘proses (atau serangkaian proses) yang
melahirkan sebuah transformasi dalam spatial organisation dari hubungan sosial dan transaksi —ditinjau dari segi ekstensitas, intensitas, kecepatan dan dampaknya—yang memutar mobilitas antar-benua atau antar-regional serta jejaringan aktivitas.’

·         Dampak Globalisasi
Sebagaimana wujud dari globalisasi yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia maka dampak yang dihasilkan oleh globalisasi tidak hanya pada sistem ekonomi, komunikasi, ataupun transportasi. Namun globalisasi dipandang oleh Giddens sebagai sebuah kekuatan yang mengubah (transform) keseluruhan kehidupan sosial di zaman sekarang. Globalisasi juga berdampak pada hidup bersama, pada keluarga, bahkan pada identitas pribadi.
Dua dampak besar yang dihasilkan oleh globalisasi menurut Giddens (diambil dari
Wibowo 2000:29-32):
1. Munculnya sebuah gejala yang disebut dengan detradisionalisasi. Gejala detradisionalisasi adalah sebuah gejala dimana masyarakat mulai meninggalkan keyakinan-keyakinan tradisi yang dipegangnya. Tidak terkecuali tradisi tentang keyakinan keagamaannya. Tradisi bukan satu-satunya pegangan untuk kehidupan pada zaman sekarang. Tradisi telah kehilangan monopoli atas kebenaran. Orang tidak akan percaya begitu saja pada argumen tradisi mengatakan. Akibat dari perubahan seperti ini kemudian muncullah sebuah masyarakat yang disebut dengan sebutan post-traditional society (masyarakat pos-tradisional).
Situasi seperti ini mengundang dua cara dalam mempertahankan tradisi yaitu: cara
modern dan tradisional. Contoh paling berbahaya adalah dengan cara tradisional
yaitu bangkitnya fundamentalisme. Misalnya pada sekarang ini muncul sangat banyak gerakan-gerakan keagamaan yang cukup fundamental bahkan dengan menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan ideologinya.
2. Gejala lain dalam globalisasi adalah social reflexivity. Manusia sekarang mengetahui banyak hal yang dipakai untuk memahami dirinya sendiri. Pengetahuan itu didapat lewat berbagai macam media: buku, majalah, koran, selebaran, TV, internet. Situasi seperti ini kemudian menghasilkan apa yang disebut clever people atau orang-orang cerdas. Orang cerdas bukan hanya karena ia mempunyai IQ tinggi tetapi karena ia tahu banyak hal. Karena orang menjadi cerdas maka jika tradisi (termasuk nilai-nilai keagamaan) tidak bisa bersaing dengan segala macam pengetahuan yang ada disekitarnya maka tradisi akan kehilangan kedudukan sentralnya.

·         Gereja Menghadapi Globalisasi
Gereja merupakan lembaga illahi yang hidup dalam dunia nyata. Ia bukan sebuah lembaga yang hidup di dunia antah berantah, ia bukan hidup di dalam dunia ilusi, ia hidup di dalam dunia nyata. Gereja bukanlah monasteri tempat para biarawan, rahib dan pertapa mengasingkan diri dari dunia, tapi ia merupakan sebuah organisme yang hidup yang harus memberi cahaya illahi di tengah-tengah berbagai perubahan di dunia. Karena itu gereja seharusnya bukan hanya menjadi lembaga pasif yang hanya menerima dampak arus globalisasi, terlebih dari itu gereja dituntut untuk secara dinamis, kreatif mewujudkan pelayanannya di pelbagai perubahan-perubahan dunia.
Gereja-gereja di Aceh Tenggara pun tak lepas dari pengaruh globalisasi. Situasi sosial dan budaya masyarakat telah mengalami banyak perubahan. Beberapa hal yang perlu disikapi oleh gereja sehubungan dengan kecenderungan-kecenderungan yang muncul dalam era globalisasi:
a. Dalam era globalisasi muncul sebuah gejala yang disebut dengan detradisionalisasi. Tradisi bukan satu-satunya pegangan untuk kehidupan pada zaman sekarang. Orang tidak akan percaya begitu saja pada argumen tradisi mengatakan. Tentu dalam hal ini termasuk segala dogma dan pengakuan iman gereja juga akan turut dipertanyakan ulang. Umat tidak begitu gampang, mudah menerima apa yang diajarkan oleh pendeta maupun pengkotbah di gereja. Sehingga sering jika kotbah yang disampaikan tidak bisa diterima oleh “nalar” jemaat, ataupun kurang sistematis sehingga sulit diterka inti berita yang dimaksudkan oleh si pengkotbah maka jemaat akan protes dengan cara mengirim SMS, dan lain sebagainya. Hal seperti ini sangat jarang ditemui barangkali sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Tentu kedepan pemimpin umat bukan hanya dituntut untuk punya kharisma tetapi juga cakap, luas dalam pengetahuannya. Maka kreativitas dan inovasi adalah tema utama untuk bisa menjadikan gereja bertahan hidup. Gereja yang tidak kreatif dan inovatif, meskipun dia cukup berhasil pada masa-masa silam maka perlahan akan ditinggalkan oleh umatnya dan akan menjadi bangunan kuno yang menyisakan kejayaan di masa lampau namun aus pada masa kini.
b. Keterbukaan dalam bidang tekhnologi menyebabkan orang bisa belajar ilmu pengetahuan dari berbagai media baik televisi, internet, majalah, koran, dan sebagainya. Keadaan ini memunculkan sebuah masyarakat yang disebut clever people. Karena warga gereja juga bagian dari masyarakat yang hidup di era globalisasi maka warga gerejapun kecenderungan akan menjadi clever people. Warga gereja bisa mempelajari berbagai ragam ilmu pengetahuan termasuk ilmu teologi dari luar gereja. Jika gereja tidak mampu menyediakan alternatif pembelajaran bagi warganya maka sangat memungkinkan mereka akan mencari ditempat-tempat lain.
c. Di sisi lain perubahan-perubahan yang cepat menerpa masyarakat akan menimbulkan suatu kegamangan dan ketidakmenentuan. Kegamangan dan ketidakmenentuan ini juga akan membuat orang justru melakukan yang sebaliknya apa yang dilakukan oleh clever people, orang-orang yang gamang dan mengalami ketidakmenentuan ini akan mencari spiritualitas-spiritualitas yang baru yang bisa mengisi kekosongan hati mereka. Tak heran jika yoga kemudian menjadi sangat diminati oleh orang-orang dari Barat, bahkan sekte-sekte baru bermunculan di negara-negara yang sering disebut dengan negara sekuler. Gereja harus menjaga semangat pietis atau kesalehannya, jangan hanya bertumpu pada pemuasan nalar tetapi juga pemuasan hati. Patricia Aburdene coauthor dari buku New York Times Best Seller Megatrends mengatakan dalam bukunya Megatrends 2010 bahwa: 78% orang berusaha akan mencari semangat tambahan sehingga menjadikan meditasi dan yoga akan berjaya (2005:XXIV).
d. Reaksi individu terhadap modernitas juga melahirkan apa yang namanya kelompokkelompok self-help. Kelompok yang didirikan oleh orang per orang dengan masalah yang sama (Wibowo 2000:34-35) atau bisa juga dengan hobi, concern yang sama. Munculah banyak kelompok-kelompok harley davidson, mio, jomblo, dan lain sebagainya. Gereja harus kreatif dan inovatif dalam mengakomodasi kepentingan umat, Vibrent Men’s Ministry (VMM), Christian Mens’ Network (CMN) menjadi salah satu contoh kelompok self-help bagi orang-orang yang mempunyai interes bersama, namun tentunya masih banyak diperlukan kelompok self-help lainnya misalnya yang mempunyai interes di politik, perjuangan Hak Asasi Manusia, musik, dan lain sebagainya. Kelompok self-help kemungkinan akan menjadi alternatif yang paling menjanjikan dalam era globalisasi. Salah satu ciri pengikat komunitas pada masa modern bukan lagi letak geografis (wilayah) namun bisa dalam wujud kantor, kelompok futsal, bulutangkis, dll. Orang yang hidup di kota besar biasanya lebih mengenal teman sekantor ketimbang tetangga sebelah. Tetangga sebelah sakit kadang-kadang kita tidak tahu tetapi jika teman dikantor sakit kita langsung bisa mengetahui.
e. Masalah yang berhubungan dengan penegakan kesejahteraan manusia, terutama yang berhubungan dengan pengatasan jurang jarak antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin. Masalah yang tidak terlepas dari upaya suatu bangsa untuk melakukan pembangunan diri ini, menantang Gereja-gereja untuk memikirkan secara mendalam tentang penatalayanan kristianinya, merencanakan secara matang penatalayanan tersebut, dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab. Beberapa waktu belakangan ini kita mendengar beberapa upaya keikutsertaan gereja melalui pendirian CU (Credit Union), Pengembangan Masyarakat (PengMas).  Hal itu pada hakikatnya merupakan upaya Gereja-gereja untuk menjawab masalah tersebut, terutama untuk menjawab kemiskinan yang hebat di negara-negara dunia ketiga di samping hutang yang bertumpuk negara-negara dunia ketiga kepada negara-negara dunia pertama. Dalam kaitannya dengan hal ini -- khususnya dengan kedudukan banyak pengusaha besar Kristen - Gereja-gereja juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pembinaan yang tepat dan tanggung jawab terhadap mereka agar upaya mereka baik yang bersifat lokal, regional dan nasional maupun internasional dapat juga ikut bertanggung jawab untuk menjawab hal-hal diatas.
f. Era globalisasi adalah sebuah era yang dipenuhi dengan persaingan secara ketat bukan hanya dalam bidang bisnis tetapi termasuk juga dalam gereja. Gereja yang mampu bertahan di tengah-tengah pusaran globalisasi adalah gereja yang mampu bersaing menghadapi tantangan zamannya.

Zaman terus berubah dan mengubah dirinya, maka menjadi sebuah keharusan bagi gereja untuk terus mereformasi dirinya di tengahtengah perubahan tersebut. Dengan tetap setia kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan atas gereja, gereja perlu berubah dan mengubah zaman, menjadi institusi paling terdepan dalam menyikapi tanda-tanda zaman. Gereja adalah Garam dan terang bagi dunia ini. Gereja harus mampu membawa perubahan dan menerangi kehidupan dunia yang dilingkupi oleh kekelaman. “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” Atau gereja akan kehilangan maknanya jika ia tidak peka terhadap perubahan-perubahan di dalam dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar