Khotbah
Minggu, 01 September 2013
EV. Daniel
3:13-18
Tema Mingguan:
Hanya kepada Allah saja kami menyembah
Pendahuluan
Kata Martir,
bagi kita orang Kristen dimasa ini, dipahami sebagai seseorang yang meninggal
karena imannya. Seorang yang mati Martir dapat dikatakan sebagai seseorang yang
menyaksikan kebenaran dan kuasa Yesus Kristus untuk dirinya, dan juga yang
membagikan kesaksian itu kepada orang lain, apapun resiko yang harus diterima. Dalam
kisah para Rasul 6:5 – 8:1b, kita menemukan seorang Stefanus yang mati martir
untuk mempertahankan imannya kepada Kristus, meskipun ia harus dilempari hingga
mati.
Di
dalam Perjanjian Lama, kita juga dapat menemukan hal yang hampir serupa dengan
Stefanus. Terdapat sebuah peristiwa dimana 3 orang Yehuda yang diangkut sebagai
tawanan oleh Raja Babel di paksa untuk menyangkal imannya dan mengikuti
perintah dari Nebukadnezar untuk menyembah patung berhala yang ia buat. Mereka adalah:
Hananya ("Tuhan menunjukkan kasih
karunia") dinamai Sadrakh
("Hamba Aku," yaitu dewa bulan); Misael ("Siapa yang setara
dengan Allah?") dinamai Mesakh
("Bayangan pangeran" atau "Siapa ini?"); dan Azarya
("Tuhan menolong") dinamai Abednego
("Hamba Nego," yaitu dewa hikmat atau bintang fajar). Mereka bertiga
adalah teman dari Daniel ("Allah adalah hakimku") dinamai Beltsazar
("Bel, [dewa tertinggi Babel], melindungi hidupnya"). Oleh Nebukadnezar,
mereka bertiga diserahi jabatan yang tinggi, sebagai penguasa wilayah Babel
(Daniel 2:49). Ini adalah identitas baru bagi mereka sebagai penduduk Babel. Namun
sekalipun memperoleh nama-nama baru ini, para pemuda Yahudi ini menetapkan
bahwa mereka akan tetap setia kepada Allah yang esa dan benar.
Minggu
ini kita diajarkan untuk tetap menyembah Allah yang hidup, meskipun situasinya
sangat sulit, seperti yang dialami oleh Sadrakh, Mesakh, Abednego.
Tafsiran
Setelah
Daniel berhasil memecahkan arti mimpinya, Nebukadnezar mungkin bertindak dengan
sombong karena, sebagaimana dinyatakan melalui Daniel (#/TB Dan 2:37-38*), dia
menjadi kepala emas dari patung di dalam mimpinya itu. Kerajaan Nebukadnezar
baru berkuasa dan untuk memperteguh persatuan banyak propinsi yang ditambahkan
kepada kerajaannya, ia menuntut penyembahan patung dirinya sebagai sarana
meningkatkan kesetiaan kepada dirinya. Karena itu semua orang yang tinggal di
dalam daerah kekuasaannya harus menunjukkan kesetiannya kepada Nabukadnezar
dengan menyembah patung yang ia buat. Semua orang melakukan perintahnya,
kecuali Sadrakh, Mesakh, Abednego.
Ancaman
bagi ketidaktaatan terhadap perintah Nebukadnezar adalah ”akan
dicampakkan seketika itu juga ke dalam perapian yang menyala-nyala!" (3:6,
15). Mereka telah mengetahui hal tersebut, dan mereka memilih untuk tetap
mempertahankan keyakinannya kepada Allah yang mereka sembah. Mereka
malah memberikan kesaksian yang berani dan sangat terus-terang tentang kesetiaan mereka
kepada satu-satunya Allah yang benar. Mereka mempunyai pengharapan dan iman
yang terpaut pada Dia yang adalah perlindungan dan kekuatan mereka (#/TB Mazm
46:2; 56:5*). Mereka juga tahu bahwa murka Allah terhadap dosa dan
ketidaktaatan jauh lebih hebat daripada
kemarahan manusia (bd. pasal /TB Im 26:1-46; Ul 28:1-68). Jadi, sebagai
ungkapan iman yang kokoh, kepercayaan mutlak dan kesetiaan penuh kepada Allah,
mereka mengatakan,"seandainya Ia tidak menolong." Mereka memiliki
iman yang mengandalkan dan menaati Allah tanpa menghiraukan akibat-akibatnya.
Aplikasi
1.
Setiap warga negara yang baik mempunyai kewajiban untuk mematuhi beragam
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berkuasa. Secara khusus kita
orang Kristen telah diajarkan untuk “takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (Roma 13:1). Kita meyakini bahwa pemerintah di dunia yang berkuasa
atas kita untuk menciptakan ketertiban. Beragam peraturan tersebut bertujuan
untuk menciptakan ketertibandalam kehidupan kita. Warga negara yang baik wajib
menurutinya. Namun, bagaimana jika peraturan tersebut berisikan larangan untuk
beribadah kepada Tuhan? Apa yang akan kita perbuat? Apakah kita akan tetap
beribadah kepada Tuhan atau tidak?
Sadrakh,
Mesakh, Abednego memilih untuk tetap memuji Allah yang hidup,
meskipun ancamannya adalah kematian. Demikian juga dengan banyak saudara kita
yang mengalami penghambatan dalam beribadah, tetap bertahan dalam imannya. Bagaimana
dengan kita yang bebas beribadah?
2. Nebukadnezar memberikan tawaran kepada mereka bertiga,
sebelum mereka dimasukkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Jika menyembah
patung, akan tetap hidup; jika tidak menyembah patung, akan mati. Ada kesempatan
bagi mereka untuk lepas dari hukuman. Ada “jurus selamat” yang dapat mereka
pakai untuk selamat. Misalnya, dengan berpura-pura menyembah, dengan berpura-pura
murtad. Terhadap hal ini kita diingatkan oleh Rasul paulus: “Hendaklah Kasih
itu jangan pura-pura!” (Roma 12:9). Kita tidak dapat berpura-pura membenci
Allah padahal tidak atau sebaliknya, berpura-pura mencintai Allah padahal
tidak. Itu sama saja menyangkal iman kita, seperti Petrus. Sadrakh, Mesakh,
Abednego mengajar kita untuk tetap bersandar pada “Juru Selamat” kita,
mengasihi Dia, meskipun itu menuntut pengorbanan dari kita.
3. Penderitaan yang dialami dapat menjadi kesaksian
sehingga orang lain menjadi percaya kepada kristus. Tentu penderitaan yang
dimaksud bukanlah penderitaan yang terjadi karena kebebalan, keangkuhan kita
terhadap Tuhan. Penderitaan yang dimaksud adalah karena kita hidup di jalan Tuhan.
Hidup di jalan Tuhan tidak disukai oleh dunia ini, sehingga kita mendapatkan
hambatan dan penderitaan. Hidup di dalam Tuhan berarti melakukan kasih. Kasih itulah
hendaknya yang kita lakukan agar semua orang mengenal kita sebagai Murid-Nya.